Kamis, 15 Maret 2012

CANDI PARI


CANDI PARI
            Candi Pari terletak di dusun Candi Pari. Kecamatan Porong, Sidoarjo. Berdiri diatas tanah 1.310 m2 pada ketinggian  kurang lebih 4,42 m dari permukaan laut. Lokasi CAndi Pari di kelilingi oleh pemukiman penduduk.

Latar belakang Sejarah :
            Penelitian dan publikasi sejarah tentang candi pari baik berupa tulisan maupun foto sudah lama diterbitkan oleh sarjana sarjana Belanda :
1.      Hageman di dalam TBG II tahun 1864
2.      P.J. Veth, Java tahun 1878
3.      JLA. Brandes. ROC tahun 1903
4.      J. Kanibel, ROC tahun 1905/1906
5.      FDK Bosh, ROD tahun 1915
6.      Verbek mengadakan inventaris tahun 1889 – 1891
7.      NJ Krom dalam buku Inlejding tot de Hindoe – Java asch Kunst 1923

NJ Krom berpendapat, bahwa gaya arsitektur Candi Pari mendapat pengaruh dari Campa khususnya dengan candi candi di mison. Pengaruh ini tampak pada bangunan dan ornamen, namun demikian Candi Pari tetap menunjukkan karakter Indonesia. Untuk mendukung pendapat NJ Krom menyebutkan adanya  hubungan antara Indonesia dengan dan Campa suatu daerah di Vietnam sekarang ini. Sumber tertulis menunjukkan bahwa hubungan dagang antara Indonesia dan Campa sudah terjalin sejak pra sejarah, hal ini berdasarkan temuan nekara-nekara perunggu gaya dongsan di Pulau Jawa. Pada masa klasik hubungan dagang makin meningkat lagi. Sumber prasasti dari periode Jawa Tengah , sedangkan sumber tertulis dari jaman Islam menyebutkan pengungsian orang orang Islam Campa ke Jawa Timur abad XV masehi , terdapat dalam hikayat Hasanuddin ( Jan Endel 1983 ) dan kitab sejarah melayu ( Situmorang dan Tecuw 1952 ) peristiwa itu terjadi setelah jatuhnya pemerintahan Raja Pan Kubah akibat serangan Raja Koci. Yaitu pengungsian orang orang Campa ke Jawa karena stabilitas di Negeri Campa tidak aman. Dalam hubungannya dengan Candi Pari , pengungsian orang orang Campa ke Jawa tahun 1318 oleh penguasa Majapahit kedatangan diterima dengan baik, konsekuansi logisnya disediakan untuk raja Campa dan pengikutnya dan akhirnya Asimilasi tersebut tampak pada bangunan Candi Pari, yaitu bangunan suci berkarakter Jawa yang dipengaruhi kesenian Campa.

Latar Belakang Cerita Rakyat :
            Candi Pari oleh masyarakat dilambangkan dengan dongeng sebagai peringatan hilangnya Joko Pandelegan.

Pendirian Candi Pari
Diatas pintu Candi Pari dipahatkan angka tahun 1293  saka (1371 M) dengan demikian Candi Pari didirikan pada masa kejayaan Majapahit dibawah pemrintahan Raja Hayam Wuruk.
Adapun ciri-ciri Campa pada hubungan Candi Pari justru menunjukkan tingginya toleransi di bidang kebudayaan pada waktu itu.

Latar Belakang Keagamaan
Di dalam ROD tahun 1915 disebutkan bahwa di dekat Candi Pari dan desa sekitarnya pernah ditemukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganessa dan 3 arca Budha, yang semuanya telah disimpan di museum Nasional Jakarta . Latar belakang keagamaan Candi Pari bersifat Hindu. Hal ini ditunjukkan adanya relief sankhadi Candi Pari yang merupakan atribut dalam agama Hindu.

Arsitektur Bangunan
Candi Pari dibangun menghadap ke barat dengan ukuran panjang 13,5 m, lebar 13,40 m dan tinggi 13,80 m. Terbuat dari batu bata, sedang ombang atas dan bawah pintu masuk bilik candi menggunakan batu adesit. Secara Arsitektural Candi pari mempunyai perbedaan dengan candi candi lainnya di Jawa Timur. Perbedaan ini Nampak pada bentuk fisik Candi Pari yang agak tambun dan tampak kokoh seperti candi candi di Jawa Tengah . Sedangkan Candi di Jawa Timur berbentuk ramping. Selain itu perbedaan Nampak pada bentuk kaki, badan candi dan ornamennya
  1. Kaki Candi
Kaki Candi Pari bertingkat dua , yaitu kaki candi atas  dan kaki candi bawah dengan istilah batur.
a.         Kaki candi 1 (batur} berdenah empat bujur sangkar dengan ukuran panjang  13,55 m lebar 13,40 m dengan tinggi 1,50 m terdapat dua jalan masuk ke bilik candi. Kedua jalan tersebut merupakan trap/susunan anak tangga dengan arah utara selatan dan selatan utara, jalan masuk seperti itu tdk kita temui pada candi-candi di Jawa Timur. Susunan bata pada kedua anak tangga masuk masih asli. Tetapi kondisinya dan pipi tangga dalam keadaan rusak. Pada bidang atasnya terdapat silasar selebar 1,70 m
b.         Kaki II berdenah bujur sangkar dengan ukurannya panjang 10 m, lebar 10 m dan tinggi 1,95 m, Pada salah satu sisi terdapat tangga naik menuju ke bilik candi, tangga naik tersebut merupakan susunan baru dengan menggunakan bata lama. Pada bagian dinding candi telah mengalami konsolidasi pada jaman kolonial Belanda.
     
  1. Badan Candi
Badan candi berbentuk bujur sangkar berukuran panjang 7,80 m, lebar 7,80 m, tinggi 6,30 m, pintu masuk berbentuk segi empat ukuran panjang 2,90 m, lebar 1,23 m dan tebal 1 m dengan 7 buah doorple salah satunya terbuat dari batu adesit dengan pahat angka tahun 1293 saka (1371 M) dan hiasan berbentuk segitiga.
Ambang atas pintu masuk ini pernah mengalami konsolidasi pada jaman kolonial Belanda, yaitu diberi 6 buah balok jati. Tetapi setelah dipugar pada tahun 1994 s/d 1999 diganti dengan batu adesit sebanyak 7 buah. Profil batu candi yang masih tampak jelas yaitu profil badan pada bagian atas, berupa sebuah bentuk sisi genta dengan lilis polos. Sedang di tengah dinding badan lainnya terdapat pahatan berupa miniature candi dengan hiasan bunga teratai dan rangka. Di kanan kiri pahatan miniature candi mempunyai lubang angina sebanyak 6 buah


           
  1. Bilik Candi
Sebagian lantai bilik candi merupakan tatanan baru dengan menggunakan batu lama.Susunan lantai asli masih tampak di sudut barat daya dan sudut barat laut bilik candi. Di dalam bilik candi saat ini sudah tidak ada arcanya lagi, akan tetapi dibagian dinding timur ( antara lubang angin) terdapat sebuah tonjolan sebagai sandaran arca, ukuran bilik candi 6 X 6 m .

4.      Atap Candi
Atap candi sebagian besar telah runtuh, dengan ukuran panjang 7,80 m lebar 7,80 m , tinggi 4,05 m. Hiasan yang masih tampak pada dinding atap berupa hiasan menara-menara pajal sudah tidak lengkap lagi. Antefik yang terlihat samar samar serta hiasan binatang bertangga panjang keadaan sudah aus.

Ornamen :
Candi Pari tidak memiliki ornamen . Pada kaki candi 1 (batur) terdapat hiasan berbentuk semacam panel yang polos tanpa hiasan. Sedangkan pada kaki II di tengah tengah sisi terdapat pahatan berbentuk seperti alas arca atau candi tanpa atap. Pada tubuh candi terdapat pahatan semacam panel panel besar polos tanpa hiasan. Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan segitiga sama sisi, bagian kecilnya berada diatas. Pada bagian dinding utara, timur dan selatan terdapat hiasan miniature yang atapnya bertingkat 5 dengan puncaknya ada hiasan (angka) atau angka ? candi pari yang kita lihat saat ini hasil pemugaran tahun 1994 s/d 1999 oleh Kanwil Depdikbud dan suaka peninggalan sejarah dan purbakala Jawa Timur melalui dana proyek pelestarian/pemanfaatan peninggalan sejarah dan purbakala Jawa Timur.





Sumber :  copy brosure Candi Pari

Candi Pari dan Candi Sumur


ASAL USUL CANDI PARI DAN CANDI SUMUR

            Pada jaman dahulu kala seorang tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di pegunungan , ia mempunyai adik perempuan janda bertempat tinggal di desa Injingan, Kyai Gede Penanggungan mempunyai 2 anak perempuan, yang sulung bernama Nyai loro Walang Sangit dan yang bungsu bernama Nyai Loro Walang angin, keduanya berdiam dirumah Kyai Gede Penanggungan. Sedangkan adiknya janda Ijingan mempunyai seorang anak laki laki bernama Jaka Walang Tinunu, setelah dewasa ia amat tampan dan hormat kepada ibunya.
            Pada suatu hari ia menanyakan pada ibunya siapakah ayahnya, tetapi ibunya tidak mau menjawab dan hanya berkata , “ Kamu tidak punya ayah tetapi Kyai Gede Penanggungan adalah kakak saya. Kemudian Jaka Walang Tinunu minta ijin pada ibunya membuka hutan untuk tempat tinggal dan penggarapan sawah. Permintaannya dikabulkan oleh ibunya , maka berangkatlah Jaka Walang Tinunu disertai dua orang temannya yaitu Satim dan Sabalong untuk menuju ke dukuh Kedungkras ( desa Kesambi sekarang ), setelah menetap disana tanpa suatu rintangan apapun, mereka mulai membabat rimba di Kedung Soko arah utara Kedungkras dan arah selatan Candi Pari.
            Beberapa waktu kemudian pada suatu malam teman teman  Jaka Walang Tinunu dengan sepengetahuannya memasang wuwu di Kali Kedung Soko. Esok harinya wuwu diambil dan ternyata berhasil menangkap seekor ikan Kotok yang dinamakan Deleg. Betapa gembiranya si Sabalong lalu ditunjukkan kepada Jaka Walang Tinunu dan Satim. Setelah ikan dipotong dan dimasak, tetapi ajaibnya ikan dapat berbicara seperti manusia dan menerangkan bahwa ia sebenarnya bukan ikan, tapi seorang manusia. Bahwa dulu ia bernama Sapu Angin yang mengabdi pada pertapa dari gunung Pamucangan dan ia berdosa pada pertapa itu karena pernah mempunyai keinginan untuk menjadi raja. Dan ia diperkenankan menjadi raja ikan, dengan demikian berubahlah ia menjadi Deleg sampai detik masuk ke wuwu. Waktu mendengar riwayat Deleg itu maka terharulah Jaka Walang Tinunu dan berkata “ Barang siapa berasal dari manusia kembalilah menjadi manusia “ dan seketika itu ikan Deleg berubah menjadi manusia yang hampir setampan dengan Jaka Walang Tinunu, lalu diberi nama Jaka Pandelegan dan dianggap adik dari Jaka Walang Tinunu.
            Demikianlah lalu mereka bersama sama membuka tanah dan setiap hari mengolah tanah untuk lahan pertanian. Kemudian Jaka Walang Tinunu memikirkan soal bibit, tetapi menemui jalan buntu, sebab dia sangat miskin tidak punya apa apa untuk membeli keperluan menggarap sawah. Tapi tiba tiba ia ingat apa yang dikatakan ibunya dulu, tentang Kyai Gede Penanggungan, tetapi ia tak berani menyampaikan isi hatinya kepada Kyai Gede Penanggungan, Maka permohonannya tentang bibit padi disampaikan kepada Nyi Gede yang selanjutnya disampaikan pada suaminya, namun Kyai Gede tak percaya bahwa bibit itu akan dipergunakan untuk bersawah.
            Sebaliknya kedua putrinya waktu kedatangan Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan asmara didada mulai tumbuh melihat kesopanan dan ketampanan kedua pemuda itu. Baru pertama kali kedua gadis tersebut melihat pemuda yang begitu sopan dan tampan.
            Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan sangat kecewa karena permohonannya tidak dikabulkan, hanya diberi Mendang yang apabila disebarkan tidak akan tumbuh. Lalu kedua putrinya disuruh untuk mengambilkan Mendang tersebut, Karena kedua putrinya menaruh hati maka kesempatan ini tidak disia siakan untuk mencampur bibit padi dengan Mendang yang akan diberikan itu.Lalu diserahkan kepada dua pemuda itu dan Kyai Gede Penanggungan mengatakan “ itulah bibitnya “
            Setelah menerima Mendang 1 karung mereka mohon diri. Kedua putrinya sudah terlanjur mencintainya maka keduanya mohon ijin kepada orang tuanya untuk ikut dengan kedua pemuda itu, tetapi tidak diperkenankan, Akhirnya kedua putrinya hanya memesan kepada kedua pemuda itu agar saat menanam padi untuk memberitahu kepada Kyai Gede Penanggungan.
Setibanya dirumah secepatnya Mendang tersebut disebarkan disawah dengan mendapat ejekan dari Sabalong dan Satim, karena yang disebarkan itu tidak mungkin dapat tumbuh, Namun demikian Jaka Pandelegan dan Jaka Walang Tinunu percaya apa yang diucapkan oleh Kyai Gede Penanggungan tersebut.
            Ternyata tumbuhnya sangat baik benar benar seperti bibit sesungguhnya. Waktu pemindahan tanaman tiba Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan datang lagi pada Kyai Gede untuk mohon ijin agar kedua putrinya membantu menanam padi. Tetapi tidak dikabulkan oleh Kyai Gede malah marah dengan dalih bahwa kedua putrinya akan dipinang oleh Raja Blambangan , padahal keduanya sudah sama sama mencintai , lalu kedua pemuda itu kembali pulang. Dan diam diam kedua putri Kyai Gede melarikan diri menyusul , Nyai Loro Walang Angin ingin jadi isterinya Jaka Pandelegan dan Nyai Loro Walang Sangit ingin jadi isterinya Jaka Walang Tinunu. Akhirnya keduanya dapat bertemu dengan pemuda itu ditengah jalan yang selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Kedung Soko.
Setelah Nyai Gede mengetahui kedua putrinya tidak ada lalu memberitaukan kepada Kyai Gede, lalu mengejar kedua putrinya dipaksa untuk kembali kerumah, tetapi ditolaknya. Sedangkan kedua pemuda itu tidak menghiraukannya karena kedua anaknya ikut atas kemauannya sendiri. Maka terjadilah suatu pertengkaran yang berakhir dengan kekalahan di pihak Kyai Gede, sehingga terpaksa pulang kembali tanpa disertai kedua putrinya.Sedangkan mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan kembali ke Kedung Soko.
            Waktu tanaman berusia 45 hari sawah kekurangan air sehingga Jaka Walang Tinunu menyuruh Jaka Pandelegan menyelidiki air. Ketika sampai ditengah sawah berpapasan dengan seorang tua  yang memerintahkan agar Jaka Pandelegan menghentikan perjalanannya , yang menyebabkan dia murka. Saat ia akan membunuh orang tua tersebut lalu ia jatuh pingsan. Ketika sadar sangatlah takut dan menanyakan tentang namanya. Lalu orang tua tersebut menjawab “ Namaku Nabi Kilir” pelindung semua air.  Kemudian orang tua itu memberikan nama kepada Jaka Pandelegan dengan nama Dukut Banyu, lalu berkata “Kalau kamu sudah selesai bertanam adakanlah selamatan apabila sawahmu berhasil dengan baik” Setelah itu orang tua menghilang. Waktu Jaka Pandelegan datang kembali kesawahnya ternyata sudah penuh dengan air yang melimpah sampai panen tiba.
            Menurut “Shohibul Hikayat” tentang pemotongan Padi karena luasnya sawah dan baiknya jenis tanaman maka orang dari segala penjuru datang untuk ikut derep (memotong padi) tersebut. Juga diceritakan bahwa bagian muka dipotong bagian belakang yang baru saja dipotong sudah kelihatan ada tanaman padi yang sudah menguning, sehingga tidak ada habis habisnya. Adapun hasil panenan ditumpuk di penangan, Justru penangan tersebut tepat di tempat Candi Pari sekarang ini. Dan betapa banyaknya padi di penangan itu
            Sementara kerajaan Majapahit mengalami paceklik.Pertanian gagal banyak petani sakit. Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh menjadi kosong, karena luasnya sawah yang kena penyakit dan gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa di Kedung Soko berdiam seorang yang arif yang memiliki banyak padi. Maka diperintahkan kepada Patihnya untuk meminta penyerahan padi dan dibawakan perahu lewat sungai arah tengara Kedung Soko.Akhirnya Jaka Walang Tinunu bersedia untuk menyerahkan padinya kepada utusan sang Prabu, dan padi padi tersebut diangkut ke tebing sungai dan selanjutnya dimuatkan pada perahu perahu itu, walaupun berapa banyak perahu yang disediakan, namun padi yang disediakan di tebing tetap tidak muat sehingga tempat tersebut dinamakan desa Pamotan, Lalu padi dipersembahkan pada sang Prabu Brawijaya yang diterima dengan suka cita . Lalu sang Prabu menanyakan kepada sang Patih siapakah pemilik padi itu ? Maka sang Patih menjawabnya bahwa yang memiliki padi itu bernama “Jaka Walang Tinunu” anak seorang janda Ijingan.
            Maka teringat oleh sang Prabu bahwa baginda pernah berhubungan dengan Nyai Rondo dimaksud, tetapi itu semua disimpan dalam hati dan menitahkan Sang Patih untuk memanggil Jaka Walang Tinunu beserta isterinya. Kemudian keduanya menghadap Sang Prabu . Setelah diamat amati ternyata benar bahwa Jaka Walang Tinunu adalah putra Sang Prabu.
            Selanjutnya Sang Prabu mengutus untuk memanggil Jaka Pandelegan beserta isterinya dengan maksud akan dinaikkan pangkat derajatnya. Dan apabila mereka tidak bersedia supaya dipaksa tanpa menimbulkan cidera pada badannya bahkan jangan sampai menyebabkan kerusakan pada pakaiannya, Selanjutnya pula Sang Prabu menanyakan siapakah temannya yang bernama Jaka Pandelegan itu. Lalu Jaka Walang Tinunu menjawab bahwa Jaka Pandelegan yang dianggap sebagai adiknya itu adalah berasal dari ikan Deleg.
            Sebelum perintah  raja itu disampaikan kepadanya, Jaka Pandelegan sudah merasa akan mendapat panggilan akan tetapi panggilan tersebut tidak akan dipenuhi, hal tersebut sudah dipertimbangkan dengan isterinya.
            Ketika Patih datang menyampaikan panggilan ia menolak, sekalipun dipaksa tetap membangkang yang selanjutnya menyembunyikan diri di tengah tengah tumpukan padi pada penangan itu. Dan sewaktu sang Patih berusaha untuk menangkap dan mengepung tempat itu, maka Jaka Pandelegan menghilang tanpa bekas. Setelah menghilangnya sang suami, Nyai Loro Walang Angin yang membawa kendi berpapasan dengan patih disuatu tempat, sewaktu akan ditangkap berkatalah ia “Biarlah saya terlebih dahulu mengisi kendi ini disebelah barat daya penangan itu” Dan saat tiba disebelah timur Sumur, maka hilanglah istri Jaka Pandelegan itu.
            Setelah suami isteri itu hilang Sang Patih pulang kembali untuk melaporkan peristiwa itu kepada Sang Prabu. Mendengar kejadian itu Baginda sangat kagum atas kecekatan Jaka Pandelegan dan isterinya itu. Yang akhirnya Sang Prabu Brawijaya mengeluarkan perintah mendirikan dua buah candi untuk mengenang peristiwa hilangnya suami isteri itu. Maka didirikanlah dua buah candi, yang satu didirikan dimana Jaka Pandelegan hilang yang diberi nama CANDI PARI , sedangkan candi yang satunya didirikan ditempat dimana bekas Nyai Loro Walang Angin menghilang dengan diberi nama CANDI SUMUR.
Dan kedua candi itu baru dibangun pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk  kira kira pada tahun 1371 Masehi. Demikian cerita singkat asal usul berdirinya kedua candi yang terletak di desa Candipari Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo.
Candi Pari

Candi Sumur
Sumber : copy brosure CANDI PARI