Kolam Renang Hotel PALM Bondowoso
prian fotografer
Foto Seni dan Budaya
Jumat, 16 Maret 2012
Kamis, 15 Maret 2012
CANDI PARI
CANDI PARI
Candi
Pari terletak di dusun Candi Pari. Kecamatan Porong, Sidoarjo. Berdiri diatas
tanah 1.310 m2 pada ketinggian kurang
lebih 4,42 m dari permukaan laut. Lokasi CAndi Pari di kelilingi oleh pemukiman
penduduk.
Latar belakang Sejarah :
Penelitian
dan publikasi sejarah tentang candi pari baik berupa tulisan maupun foto sudah
lama diterbitkan oleh sarjana sarjana Belanda :
1.
Hageman di dalam TBG II tahun 1864
2.
P.J. Veth, Java tahun 1878
3.
JLA. Brandes. ROC tahun 1903
4.
J. Kanibel, ROC tahun 1905/1906
5.
FDK Bosh, ROD tahun 1915
6.
Verbek mengadakan inventaris tahun 1889 – 1891
7.
NJ Krom dalam buku Inlejding tot de Hindoe – Java asch
Kunst 1923
NJ Krom
berpendapat, bahwa gaya
arsitektur Candi Pari mendapat pengaruh dari Campa khususnya dengan candi candi
di mison. Pengaruh ini tampak pada bangunan dan ornamen, namun demikian Candi
Pari tetap menunjukkan karakter Indonesia .
Untuk mendukung pendapat NJ Krom menyebutkan adanya hubungan antara Indonesia
dengan dan Campa suatu daerah di Vietnam sekarang ini. Sumber
tertulis menunjukkan bahwa hubungan dagang antara Indonesia
dan Campa sudah terjalin sejak pra sejarah, hal ini berdasarkan temuan
nekara-nekara perunggu gaya
dongsan di Pulau Jawa. Pada masa klasik hubungan dagang makin meningkat lagi.
Sumber prasasti dari periode Jawa Tengah , sedangkan sumber tertulis dari jaman
Islam menyebutkan pengungsian orang orang Islam Campa ke Jawa Timur abad XV
masehi , terdapat dalam hikayat Hasanuddin ( Jan Endel 1983 ) dan kitab sejarah
melayu ( Situmorang dan Tecuw 1952 ) peristiwa itu terjadi setelah jatuhnya
pemerintahan Raja Pan Kubah akibat serangan Raja Koci. Yaitu pengungsian orang
orang Campa ke Jawa karena stabilitas di Negeri Campa tidak aman. Dalam
hubungannya dengan Candi Pari , pengungsian orang orang Campa ke Jawa tahun
1318 oleh penguasa Majapahit kedatangan diterima dengan baik, konsekuansi
logisnya disediakan untuk raja Campa dan pengikutnya dan akhirnya Asimilasi
tersebut tampak pada bangunan Candi Pari, yaitu bangunan suci berkarakter Jawa
yang dipengaruhi kesenian Campa.
Latar Belakang Cerita Rakyat :
Candi Pari oleh
masyarakat dilambangkan dengan dongeng sebagai peringatan hilangnya Joko
Pandelegan.
Pendirian Candi Pari
Diatas pintu Candi Pari
dipahatkan angka tahun 1293 saka (1371
M) dengan demikian Candi Pari didirikan pada masa kejayaan Majapahit dibawah
pemrintahan Raja Hayam Wuruk.
Adapun ciri-ciri Campa pada
hubungan Candi Pari justru menunjukkan tingginya toleransi di bidang kebudayaan
pada waktu itu.
Latar Belakang Keagamaan
Di dalam ROD tahun 1915
disebutkan bahwa di dekat Candi Pari dan desa sekitarnya pernah ditemukan 2
arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganessa dan 3 arca Budha, yang
semuanya telah disimpan di museum Nasional Jakarta . Latar belakang keagamaan
Candi Pari bersifat Hindu. Hal ini ditunjukkan adanya relief sankhadi Candi
Pari yang merupakan atribut dalam agama Hindu.
Arsitektur Bangunan
Candi Pari dibangun menghadap ke
barat dengan ukuran panjang 13,5 m, lebar 13,40 m dan tinggi 13,80 m. Terbuat
dari batu bata, sedang ombang atas dan bawah pintu masuk bilik candi
menggunakan batu adesit. Secara Arsitektural Candi pari mempunyai perbedaan
dengan candi candi lainnya di Jawa Timur. Perbedaan ini Nampak pada bentuk
fisik Candi Pari yang agak tambun dan tampak kokoh seperti candi candi di Jawa
Tengah . Sedangkan Candi di Jawa Timur berbentuk ramping. Selain itu perbedaan
Nampak pada bentuk kaki, badan candi dan ornamennya
- Kaki Candi
Kaki Candi Pari
bertingkat dua , yaitu kaki candi atas
dan kaki candi bawah dengan istilah batur.
a. Kaki candi 1 (batur}
berdenah empat bujur sangkar dengan ukuran panjang 13,55 m lebar 13,40 m dengan tinggi 1,50 m
terdapat dua jalan masuk ke bilik candi. Kedua jalan tersebut merupakan
trap/susunan anak tangga dengan arah utara selatan dan selatan utara, jalan
masuk seperti itu tdk kita temui pada candi-candi di Jawa Timur. Susunan bata
pada kedua anak tangga masuk masih asli. Tetapi kondisinya dan pipi tangga
dalam keadaan rusak. Pada bidang atasnya terdapat silasar selebar 1,70 m
b. Kaki II berdenah bujur
sangkar dengan ukurannya panjang 10 m, lebar 10 m dan tinggi 1,95 m, Pada salah
satu sisi terdapat tangga naik menuju ke bilik candi, tangga naik tersebut
merupakan susunan baru dengan menggunakan bata lama. Pada bagian dinding candi
telah mengalami konsolidasi pada jaman kolonial Belanda.
- Badan Candi
Badan candi
berbentuk bujur sangkar berukuran panjang 7,80 m, lebar 7,80 m, tinggi 6,30 m,
pintu masuk berbentuk segi empat ukuran panjang 2,90 m, lebar 1,23 m dan tebal
1 m dengan 7 buah doorple salah satunya terbuat dari batu adesit dengan pahat
angka tahun 1293 saka (1371 M) dan hiasan berbentuk segitiga.
Ambang atas
pintu masuk ini pernah mengalami konsolidasi pada jaman kolonial Belanda, yaitu
diberi 6 buah balok jati. Tetapi setelah dipugar pada tahun 1994 s/d 1999
diganti dengan batu adesit sebanyak 7 buah. Profil batu candi yang masih tampak
jelas yaitu profil badan pada bagian atas, berupa sebuah bentuk sisi genta
dengan lilis polos. Sedang di tengah dinding badan lainnya terdapat pahatan
berupa miniature candi dengan hiasan bunga teratai dan rangka. Di kanan kiri
pahatan miniature candi mempunyai lubang angina sebanyak 6 buah
- Bilik Candi
Sebagian lantai
bilik candi merupakan tatanan baru dengan menggunakan batu lama.Susunan lantai
asli masih tampak di sudut barat daya dan sudut barat laut bilik candi. Di
dalam bilik candi saat ini sudah tidak ada arcanya lagi, akan tetapi dibagian
dinding timur ( antara lubang angin) terdapat sebuah tonjolan sebagai sandaran
arca, ukuran bilik candi 6 X 6 m .
4.
Atap Candi
Atap
candi sebagian besar telah runtuh, dengan ukuran panjang 7,80 m lebar 7,80 m ,
tinggi 4,05 m. Hiasan yang masih tampak pada dinding atap berupa hiasan
menara-menara pajal sudah tidak lengkap lagi. Antefik yang terlihat samar samar
serta hiasan binatang bertangga panjang keadaan sudah aus.
Ornamen
:
Candi
Pari tidak memiliki ornamen . Pada kaki candi 1 (batur) terdapat hiasan
berbentuk semacam panel yang polos tanpa hiasan. Sedangkan pada kaki II di
tengah tengah sisi terdapat pahatan berbentuk seperti alas arca atau candi
tanpa atap. Pada tubuh candi terdapat pahatan semacam panel panel besar polos
tanpa hiasan. Di dinding barat tepat diatas pintu masuk terdapat hiasan
segitiga sama sisi, bagian kecilnya berada diatas. Pada bagian dinding utara,
timur dan selatan terdapat hiasan miniature yang atapnya bertingkat 5 dengan
puncaknya ada hiasan (angka) atau angka ? candi pari yang kita lihat saat ini
hasil pemugaran tahun 1994 s/d 1999 oleh Kanwil Depdikbud dan suaka peninggalan
sejarah dan purbakala Jawa Timur melalui dana proyek pelestarian/pemanfaatan
peninggalan sejarah dan purbakala Jawa Timur.
Sumber : copy
brosure Candi Pari
Candi Pari dan Candi Sumur
ASAL USUL CANDI PARI
DAN CANDI SUMUR
Pada
jaman dahulu kala seorang tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di
pegunungan , ia mempunyai adik perempuan janda bertempat tinggal di desa
Injingan, Kyai Gede Penanggungan mempunyai 2 anak perempuan, yang sulung
bernama Nyai loro Walang Sangit dan yang bungsu bernama Nyai Loro Walang angin,
keduanya berdiam dirumah Kyai Gede Penanggungan. Sedangkan adiknya janda
Ijingan mempunyai seorang anak laki laki bernama Jaka Walang Tinunu, setelah
dewasa ia amat tampan dan hormat kepada ibunya.
Pada
suatu hari ia menanyakan pada ibunya siapakah ayahnya, tetapi ibunya tidak mau
menjawab dan hanya berkata , “ Kamu tidak punya ayah tetapi Kyai Gede
Penanggungan adalah kakak saya. Kemudian Jaka Walang Tinunu minta ijin pada
ibunya membuka hutan untuk tempat tinggal dan penggarapan sawah. Permintaannya
dikabulkan oleh ibunya , maka berangkatlah Jaka Walang Tinunu disertai dua
orang temannya yaitu Satim dan Sabalong untuk menuju ke dukuh Kedungkras ( desa
Kesambi sekarang ), setelah menetap disana tanpa suatu rintangan apapun, mereka
mulai membabat rimba di Kedung Soko arah utara Kedungkras dan arah selatan
Candi Pari.
Beberapa
waktu kemudian pada suatu malam teman teman Jaka Walang Tinunu dengan sepengetahuannya
memasang wuwu di Kali Kedung Soko. Esok harinya wuwu diambil dan ternyata
berhasil menangkap seekor ikan Kotok yang dinamakan Deleg. Betapa gembiranya si
Sabalong lalu ditunjukkan kepada Jaka Walang Tinunu dan Satim. Setelah ikan
dipotong dan dimasak, tetapi ajaibnya ikan dapat berbicara seperti manusia dan
menerangkan bahwa ia sebenarnya bukan ikan, tapi seorang manusia. Bahwa dulu ia
bernama Sapu Angin yang mengabdi pada pertapa dari gunung Pamucangan dan ia
berdosa pada pertapa itu karena pernah mempunyai keinginan untuk menjadi raja.
Dan ia diperkenankan menjadi raja ikan, dengan demikian berubahlah ia menjadi
Deleg sampai detik masuk ke wuwu. Waktu mendengar riwayat Deleg itu maka
terharulah Jaka Walang Tinunu dan berkata “ Barang siapa berasal dari manusia
kembalilah menjadi manusia “ dan seketika itu ikan Deleg berubah menjadi
manusia yang hampir setampan dengan Jaka Walang Tinunu, lalu diberi nama Jaka
Pandelegan dan dianggap adik dari Jaka Walang Tinunu.
Demikianlah
lalu mereka bersama sama membuka tanah dan setiap hari mengolah tanah untuk
lahan pertanian. Kemudian Jaka Walang Tinunu memikirkan soal bibit, tetapi
menemui jalan buntu, sebab dia sangat miskin tidak punya apa apa untuk membeli
keperluan menggarap sawah. Tapi tiba tiba ia ingat apa yang dikatakan ibunya
dulu, tentang Kyai Gede Penanggungan, tetapi ia tak berani menyampaikan isi
hatinya kepada Kyai Gede Penanggungan, Maka permohonannya tentang bibit padi
disampaikan kepada Nyi Gede yang selanjutnya disampaikan pada suaminya, namun
Kyai Gede tak percaya bahwa bibit itu akan dipergunakan untuk bersawah.
Sebaliknya
kedua putrinya waktu kedatangan Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan asmara didada mulai tumbuh
melihat kesopanan dan ketampanan kedua pemuda itu. Baru pertama kali kedua
gadis tersebut melihat pemuda yang begitu sopan dan tampan.
Jaka
Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan sangat kecewa karena permohonannya tidak
dikabulkan, hanya diberi Mendang yang apabila disebarkan tidak akan tumbuh.
Lalu kedua putrinya disuruh untuk mengambilkan Mendang tersebut, Karena kedua
putrinya menaruh hati maka kesempatan ini tidak disia siakan untuk mencampur
bibit padi dengan Mendang yang akan diberikan itu.Lalu diserahkan kepada dua
pemuda itu dan Kyai Gede Penanggungan mengatakan “ itulah bibitnya “
Setelah
menerima Mendang 1 karung mereka mohon diri. Kedua putrinya sudah terlanjur
mencintainya maka keduanya mohon ijin kepada orang tuanya untuk ikut dengan
kedua pemuda itu, tetapi tidak diperkenankan, Akhirnya kedua putrinya hanya
memesan kepada kedua pemuda itu agar saat menanam padi untuk memberitahu kepada
Kyai Gede Penanggungan.
Setibanya dirumah secepatnya
Mendang tersebut disebarkan disawah dengan mendapat ejekan dari Sabalong dan
Satim, karena yang disebarkan itu tidak mungkin dapat tumbuh, Namun demikian
Jaka Pandelegan dan Jaka Walang Tinunu percaya apa yang diucapkan oleh Kyai
Gede Penanggungan tersebut.
Ternyata
tumbuhnya sangat baik benar benar seperti bibit sesungguhnya. Waktu pemindahan
tanaman tiba Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan datang lagi pada Kyai Gede
untuk mohon ijin agar kedua putrinya membantu menanam padi. Tetapi tidak
dikabulkan oleh Kyai Gede malah marah dengan dalih bahwa kedua putrinya akan
dipinang oleh Raja Blambangan , padahal keduanya sudah sama sama mencintai ,
lalu kedua pemuda itu kembali pulang. Dan diam diam kedua putri Kyai Gede
melarikan diri menyusul , Nyai Loro Walang Angin ingin jadi isterinya Jaka
Pandelegan dan Nyai Loro Walang Sangit ingin jadi isterinya Jaka Walang Tinunu.
Akhirnya keduanya dapat bertemu dengan pemuda itu ditengah jalan yang
selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Kedung Soko.
Setelah Nyai Gede mengetahui
kedua putrinya tidak ada lalu memberitaukan kepada Kyai Gede, lalu mengejar
kedua putrinya dipaksa untuk kembali kerumah, tetapi ditolaknya. Sedangkan
kedua pemuda itu tidak menghiraukannya karena kedua anaknya ikut atas
kemauannya sendiri. Maka terjadilah suatu pertengkaran yang berakhir dengan
kekalahan di pihak Kyai Gede, sehingga terpaksa pulang kembali tanpa disertai
kedua putrinya.Sedangkan mereka berempat kembali melanjutkan perjalanan kembali
ke Kedung Soko.
Waktu
tanaman berusia 45 hari sawah kekurangan air sehingga Jaka Walang Tinunu
menyuruh Jaka Pandelegan menyelidiki air. Ketika sampai ditengah sawah
berpapasan dengan seorang tua yang
memerintahkan agar Jaka Pandelegan menghentikan perjalanannya , yang
menyebabkan dia murka. Saat ia akan membunuh orang tua tersebut lalu ia jatuh
pingsan. Ketika sadar sangatlah takut dan menanyakan tentang namanya. Lalu
orang tua tersebut menjawab “ Namaku Nabi Kilir” pelindung semua air. Kemudian orang tua itu memberikan nama kepada
Jaka Pandelegan dengan nama Dukut Banyu, lalu berkata “Kalau kamu sudah selesai
bertanam adakanlah selamatan apabila sawahmu berhasil dengan baik” Setelah itu
orang tua menghilang. Waktu Jaka Pandelegan datang kembali kesawahnya ternyata
sudah penuh dengan air yang melimpah sampai panen tiba.
Menurut
“Shohibul Hikayat” tentang pemotongan Padi karena luasnya sawah dan baiknya
jenis tanaman maka orang dari segala penjuru datang untuk ikut derep (memotong
padi) tersebut. Juga diceritakan bahwa bagian muka dipotong bagian belakang
yang baru saja dipotong sudah kelihatan ada tanaman padi yang sudah menguning,
sehingga tidak ada habis habisnya. Adapun hasil panenan ditumpuk di penangan,
Justru penangan tersebut tepat di tempat Candi Pari sekarang ini. Dan betapa
banyaknya padi di penangan itu
Sementara
kerajaan Majapahit mengalami paceklik.Pertanian gagal banyak petani sakit.
Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh menjadi kosong, karena luasnya
sawah yang kena penyakit dan gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya mendengar
bahwa di Kedung Soko berdiam seorang yang arif yang memiliki banyak padi. Maka
diperintahkan kepada Patihnya untuk meminta penyerahan padi dan dibawakan perahu
lewat sungai arah tengara Kedung Soko.Akhirnya Jaka Walang Tinunu bersedia
untuk menyerahkan padinya kepada utusan sang Prabu, dan padi padi tersebut
diangkut ke tebing sungai dan selanjutnya dimuatkan pada perahu perahu itu,
walaupun berapa banyak perahu yang disediakan, namun padi yang disediakan di
tebing tetap tidak muat sehingga tempat tersebut dinamakan desa Pamotan, Lalu
padi dipersembahkan pada sang Prabu Brawijaya yang diterima dengan suka cita .
Lalu sang Prabu menanyakan kepada sang Patih siapakah pemilik padi itu ? Maka
sang Patih menjawabnya bahwa yang memiliki padi itu bernama “Jaka Walang
Tinunu” anak seorang janda Ijingan.
Maka
teringat oleh sang Prabu bahwa baginda pernah berhubungan dengan Nyai Rondo
dimaksud, tetapi itu semua disimpan dalam hati dan menitahkan Sang Patih untuk
memanggil Jaka Walang Tinunu beserta isterinya. Kemudian keduanya menghadap
Sang Prabu . Setelah diamat amati ternyata benar bahwa Jaka Walang Tinunu adalah
putra Sang Prabu.
Selanjutnya
Sang Prabu mengutus untuk memanggil Jaka Pandelegan beserta isterinya dengan
maksud akan dinaikkan pangkat derajatnya. Dan apabila mereka tidak bersedia
supaya dipaksa tanpa menimbulkan cidera pada badannya bahkan jangan sampai
menyebabkan kerusakan pada pakaiannya, Selanjutnya pula Sang Prabu menanyakan
siapakah temannya yang bernama Jaka Pandelegan itu. Lalu Jaka Walang Tinunu
menjawab bahwa Jaka Pandelegan yang dianggap sebagai adiknya itu adalah berasal
dari ikan Deleg.
Sebelum
perintah raja itu disampaikan kepadanya,
Jaka Pandelegan sudah merasa akan mendapat panggilan akan tetapi panggilan
tersebut tidak akan dipenuhi, hal tersebut sudah dipertimbangkan dengan
isterinya.
Ketika Patih
datang menyampaikan panggilan ia menolak, sekalipun dipaksa tetap membangkang yang
selanjutnya menyembunyikan diri di tengah tengah tumpukan padi pada penangan
itu. Dan sewaktu sang Patih berusaha untuk menangkap dan mengepung tempat itu,
maka Jaka Pandelegan menghilang tanpa bekas. Setelah menghilangnya sang suami,
Nyai Loro Walang Angin yang membawa kendi berpapasan dengan patih disuatu
tempat, sewaktu akan ditangkap berkatalah ia “Biarlah saya terlebih dahulu
mengisi kendi ini disebelah barat daya penangan itu” Dan saat tiba disebelah
timur Sumur, maka hilanglah istri Jaka Pandelegan itu.
Setelah
suami isteri itu hilang Sang Patih pulang kembali untuk melaporkan peristiwa
itu kepada Sang Prabu. Mendengar kejadian itu Baginda sangat kagum atas
kecekatan Jaka Pandelegan dan isterinya itu. Yang akhirnya Sang Prabu Brawijaya
mengeluarkan perintah mendirikan dua buah candi untuk mengenang peristiwa
hilangnya suami isteri itu. Maka didirikanlah dua buah candi, yang satu didirikan
dimana Jaka Pandelegan hilang yang diberi nama CANDI PARI , sedangkan candi
yang satunya didirikan ditempat dimana bekas Nyai Loro Walang Angin menghilang
dengan diberi nama CANDI SUMUR.
Dan kedua candi itu baru dibangun
pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk
kira kira pada tahun 1371 Masehi. Demikian cerita singkat asal usul
berdirinya kedua candi yang terletak di desa Candipari Kecamatan Porong
Kabupaten Sidoarjo.
Candi Pari
Candi Sumur
Jumat, 09 Maret 2012
Kamis, 08 Maret 2012
Langganan:
Postingan (Atom)